Pulang ke Indonesia dan Richard
Bayangkan kesetiaan seorang Samwise Gamgee di Lord of The Rings, kemudian tambahkan jiwa bertualang John Watson karangan Sir Arthur Conan Doyle dan keberanian Ron Weasley sekaligus, seperti itulah karakter seorang Richard di mata teman-temannya. Tak perlu diragukan, Richard akan menemani temannya ke puncak Mordor untuk membuang cincin yang membawa kutukan atau sekedar untuk buang air kecil. Richard berjiwa penolong, tak suka menjadi pusat perhatian dan tak suka mengatur, "a perfect companion for an adventure"
Richard duduk santai di sebelahku. Mobil kami meluncur membelah sore yang jingga menuju ke Schluchsee, sebuah danau di kedalaman hutan hitam di sebelah barat Swabia, Jerman. Disana akan ada acara seminar tahunan yang diadakan oleh Keluarga Mahasiswa Katolik Indonesia di Jerman. Seminar tahun ini bertema "Pulang ke Indonesia" dan akan dihadiri 40 mahasiswa dan mahasiswi dengan energi dan keceriaan yang sepertinya tak ada habisnya.
"Rich", aku memanggil Richard.
"Hmmmm", ia menggumam, matanya tertuju ke jalanan di depan.
"Seminar kali ini gimana?"
"Gimana apanya John?"
"Temanya suka ga? Pulang ke Indonesia"
"Temanya fix John", jawab Richard sambil merubah posisi duduknya. Fix mengimplikasikan sesuatu yang positif.
"Jadi dateng karena temanya? Bukan karena mau liat mahasiswi?"
"Bukanlah... Loe juga bukan karena mahasiswi kan?"
"Bukan lah"
Kami lalu bertatapan dengan canggung. Denial!
"Jadi pulang ke Indonesia... mau?", tanyaku sambil melirik Richard.
"Mungkin sih John...", jawabnya bernada ragu, "tapi mungkin kerja dulu beberapa tahun disini, terus pulang... atau ga pulang. Belum tau John"
"Kok jawabnya ragu?"
"Iya, kayaknya disini lebih enak sih buat hidup.. di Indo tu kayak kadang enggak ada aturannya. Tapi ya namanya ibu pertiwi pasti ada hal-hal positif yang loe suka juga lah, kayak deket dengan keluarga, orang-orangnya ga kayak orang jeman yang dingin gitu, terus makanan-makanannya yang sedap", Richard mulai meracau bawel.
"Hmmm", pikiranku melayang ke nasi bungkus padang panas yang berhias gulai ayam, sayur nangka, daun singkong rebus beserta sejumput sambal hijau.
Mobil kami masih meluncur membelah malam yang turun ke bumi. Pohon-pohon berjejer-jejer berlari melewati jendela samping mobil. Jalanan menjadi gelap dan sepi, sampai akhirnya kami tiba di sebuah Youth Hostel tepat di pinggir danau Schluchsee. Para mahasiswa panitia seminar menyambut dengan ramah dan senyum yang menawan.
"Kamar loe di atas lewat pintu itu", kata seorang panitia sambil menunjuk sebuah pintu kayu.
Selesai mandi malam, aku langsung lelap.
Paginya, seusai sarapan sambil dibuai pemandangan indah Schluchsee yang dilatarbelakangi pohon pohon pinus tinggi khas hutan hitam swabia, seminar pun dimulai.
Brain Drain, sebuah fenomena yang terjadi apabila para cendekia di sebuah negara berkembang pergi meninggalkan negara asalnya untuk tinggal dan berkerja di negara lain yang lebih maju. Apa yang akan terjadi? Tentu dengan bahan bakar para intelektual muda yang ambisius, negara maju itu akan menjadi semakin maju, sementara negara berkembang yang ditinggalkan menjadi semakin terpuruk. Siklus ini menjadi sebuah lingkaran setan yang sulit dibongkar. Sebab perpindahan penduduk ini bukan sekedar imigrasi biasa, pasalnya yang hengkang adalah tenaga ahli yang berpotensi memajukan negara berkembang itu. Sebuah masalah klasik negara-negara berkembang seperti China, India dan juga Indonesia. Masalah ini laten, karena itu ia biasanya dipandang sebelah mata oleh pemerintah.
Lain cerita dengan pemerintah Taiwan, yang sigap menghadapi Brain Drain. Sekitar tahun 1970 dan 1980 Taiwan mengirim 20 persen putra-putri terbaik lulusan universitasnya untuk melanjutkan kuliah di Amerika. Di tahun 1979, hanya 8 persen yang kembali ke pulau kecil itu. Apa yang terjadi? Mengapa mereka tidak kembali? Apa mereka sudah merasa nyaman dibuai oleh Coca Cola, McDonald dan Cadillac?
Maka pemerintah Taiwan mulai ketar ketir. Putra putri harapan bangsanya direbut negara lain yang mampu menawarkan patokan hidup yang lebih tinggi. Pemerintah Taiwan bergerak cepat. Dibawah kepemimpinan Chiang Ching Kuo, anak Chiang Kai Sek yang berpandangan demokratis itu, segala cara ditempuhnya untuk mengembalikan para cendekianya ke tanah air. Kebijakan-kebijakan awalnya berpusat di pembentukan Taiwanese Diaspora, wadah yang menjaring para cendekia dan tenaga ahli Taiwan yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Kemudian institusi yang dinamakan National Youth Council pun dibuat dengan peran sebagai perantara antara pemerintah dan Taiwanese Diaspora. Tugas awalnya adalah mendata para intelektual muda Taiwan di luar negeri, mengirim informasi pekerjaan yang ada di Taiwan ke luar negeri, menyediakan subsidi perjalanan dan menyediakan lapangan pekerjaan kepada mereka yang ingin pulang. Selain itu kementrian pendidikan mendorong para imigran untuk kembali pulang dan menjadi profesor dan dosen di universitas-universitas di Taiwan. Peran pemerintah tak berhenti disitu, puncaknya adalah pembangunan Hinschu Science-Industrial Park yang diprakarsai oleh Shu Shien Shiu dan mendapat dukungan penuh dari penguasa masa itu. Hinschu Science Park bermaksud mengimitasi Silicon Valley di California dan menciptakan ekosistem dan habitat yang nyaman dimana para intelektual muda bisa berkarya di dalam negeri. Bahkan ada cerita dimana mereka membangun perumahan bergaya barat agar para tenaga ahli yang kembali merasa betah di rumah sendiri.
Dalam diskusi seminar dengan teman-teman mahasiswa yang sedang studi di Jerman, alasan untuk tidak pulang ke Indonesia tampaknya itu-itu saja: lapangan pekerjaan yang sedikit, gaji yang kecil, asuransi kesehatan yang tidak memadai, situasi sosial politik yang tidak menentu dan kesempatan berkarya ang kecil. Intinya pemerintah tak mampu menyediakan ekosistem yang menggiurkan para cendekia ini untuk pulang. Sepertinya para cendekia di luar negeri ini sudah berevolusi menjadi makhluk baru yang nyaman dengan habitat yang dibuat oleh pemerintah negara maju hingga merasa sulit beradaptasi lagi jika kembali ke Indonesia. Lho, apa kata Charles Darwin kalau melihat makhluk yang tidak lagi bisa beradaptasi ini?
"Gimana John seminar KMKI seru ga?", tanya Richard di mobil saat kami berjalan pulang.
"Seru banget", jawabku jujur, "orang-orangnya ramah, acaranya seru, seminarnya menarik, pokoknya fix banget."
"Cewek-ceweknya", Richard membalikkan badannya kearahku, "ada yang pingin loe kenal lebih lanjut?", tanyanya menggoda.
"Hahaha", aku tertawa pelan sambil menoleh ke arah Richard yang lagi nyengir sambil menaik turunkan alisnya.
"Tipe elo kayaknya ibu-ibu juru masak yang di dapur youth hostel itu John", Richard kembali menghadap ke depan sambil menguap dan meregangkan badannya, "manis kok dia kalo senyum", lanjutnya sambil merendahkan sandaran kursi untuk mengambil posisi tidur. Tak lama kemudian ia mulai mendengkur. Mungkin sambil memimpikan ibu-ibu juru masak di dapur youth hostel.
"Hahaha", aku tertawa pelan sambil menoleh ke arah Richard yang lagi nyengir sambil menaik turunkan alisnya.
"Tipe elo kayaknya ibu-ibu juru masak yang di dapur youth hostel itu John", Richard kembali menghadap ke depan sambil menguap dan meregangkan badannya, "manis kok dia kalo senyum", lanjutnya sambil merendahkan sandaran kursi untuk mengambil posisi tidur. Tak lama kemudian ia mulai mendengkur. Mungkin sambil memimpikan ibu-ibu juru masak di dapur youth hostel.
Mobil terus meluncur cepat, sementara aku masih memikirkan soal Pulang ke Indonesia. Bagaimana dengan orang seperti Richard, pikirku dalam hati. Keraguannya untuk pulang rasanya tidak berakar dari kurangnya rasa cinta pada tanah air, karena kesetiaan Richard pada ibu pertiwi tak perlu diragukan lagi. Richard selalu menjadi orang pertama yang memberi update berita dan gosip terbaru tentang Indonesia pada teman-temannya. Kebiasaan Richard membaca berita-berita dan gosip-gosip selebriti tanah air seolah dilakukan untuk mengobati kerinduannya akan kampung halamannya. Mungkin keraguannya muncul karena situasi sosial politik yang tidak menentu. Apalagi baru-baru ini ada seorang politisi hebat dari kaum minoritas yang dijatuhi hukuman penjara.
Kulirik sarjana teknik kimia yang sedang mendengkur pelan disebelahku itu, sambil teringat ucapan provokatif mantan perdana menteri India Rajiv Gandhi:
"Brain Drain is better than Brain in the Drain".
Kulirik sarjana teknik kimia yang sedang mendengkur pelan disebelahku itu, sambil teringat ucapan provokatif mantan perdana menteri India Rajiv Gandhi:
"Brain Drain is better than Brain in the Drain".
Comments
Post a Comment